Minggu, 23 November 2008

KPU, Pahlawan yang Dilupakan


KPU, Pahlawan yang Dilupakan
Oleh: ATIP TARTIANA

Dalam setiap lintasan zaman, negeri ini selalu melahirkan pahlawan bagi bangsanya. Mereka muncul dalam setiap momentum penting yang amat layak dicatat dengan tinta emas. Sang pahlawan hadir secara alamiah. Mereka tidak perlu mengemas citra melalui keperkasaan media dengan mengiklankan dirinya sebagai pahlawan. Bangsa pada zamannyalah yang mengakui dan menyebut-nyebut diri mereka sebagai pahlawan.
Di era perjuangan kemerdekaan, misalnya, muncul Soekarno dan Muhammad Hatta yang tampil di garda terdepan dalam memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia dari cengkeraman kaum penjajah asing. Pada masanya lahir pula Tan Malaka dan Mohammad Natsir. Jauh sebelum era Soekarno-Hatta, bangsa ini dibuat bangga dengan kemunculan sang hero Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanudin, Raden Ajeng Kartini, dan pahlawan lainnya. Setelah era Soekarno-Hatta, lahir pahlawan seperti Arif Rahman Hakim dan Soe Hok Gie. Selain mereka, masih banyak pahlawan lain yang tentu tak cukup muat --bukan tidak perlu-- jika disebutkan satu per satu di artikel terbatas ini.
Kepahlawanan mereka dikenal karena jasa besar yang dibuat dengan tulus untuk bangsanya. Hidup mereka dihabiskan bukan untuk “menerima dari”, tapi “memberi kepada” orang lain. Kedirian setiap pahlawan memang selalu dibalut jiwa altruis (mendahulukan kepentingan orang lain), bukan individualis (mendahulukan kepentingan pribadi). Tidaklah mengherankan jika nama-nama terhormat dan jasa-jasa besar mereka selalu menempel dalam ingatan terutama bangsa di zamannya.
Di berbagai bangsa dan negara beradab, upaya mengenal sekaligus mengenang nama-nama dan terutama meresapi jasa para pahlawan telah menjadi suatu keniscayaan. Dalam rangka itulah, para pahlawan dibuatkan monumen megah dan patung kebesaran. Nama mereka diabadikan dalam penamaan jalan raya. Tanggal kelahirannya dijadikan hari besar (libur) nasional. Begitu pula foto sang pahlawan berukuran besar diwajibkan ditempelkan di museum, perpustakaan, dan ruang-ruang sekolah.
Di republik ini, para siswa sekolah dasar sudah dididik untuk mengapresiasi perjuangan dan jasa para pahlawan bangsa. Kepala SD dalam kesempatan upacara suka mengatakan, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya. Karena itu, terpujilah orang-orang yang menghargai jasa para pahlawannya. Sebaliknya, amatlah menyedihkan --untuk tidak mengatakan sungguh tolol dan terkutuk-- bagi orang-orang yang tidak pernah mengakui jasa serta mengapresiasi perjuangan para pahlawannya.
Pahlawan bagi elite politik
Dalam konteks tertentu, tiap pahlawan rupanya memiliki “pendukung” yang tak seragam. Akseptabilitas kepahlawanan seseorang satu sama lain tidaklah sama. Seseorang yang dianggap pahlawan oleh kelompok tertentu di negaranya belum tentu diakui kepahlawanannya oleh elite berkuasa. Begitu pula sebaliknya, seseorang yang diangkat elite berkuasa sebagai pahlawan belum tentu mendapat pengakuan kuat dari sebagian besar bangsanya. Kasus pertama misalnya dialami “sang pejuang revolusioner yang kesepian” Tan Malaka hanya karena dirinya disebut-sebut berpaham komunis, ideologi yang terlarang di Indonesia.
Parameter seseorang disebut sebagai pahlawan akhirnya menjadi bias. Dalam menakar kepahlawanan seseorang, banyak orang terjebak pada sudut pandang “suka dan tidak suka”, bukan pada objektivitas jasa-jasa besar yang telah dibuatnya. Namun Tan Malaka sesungguhnya masih beruntung. Sekalipun mendapatkan penolakan kuat dari elite berkuasa, kepahlawanan Tan Malaka masih mendapatkan pengakuan dari kelompok tertentu.
Ada orang atau kelompok lain yang justru menikmati kisah yang lebih tragis. Pengalaman sangat pahit misalnya dialami para komosioner lembaga penyelenggara pemilihan umum (pemilu) periode yang lalu. Bagaimana tidak, sekalipun jasa mereka tidaklah kecil, nyaris tak ada orang yang menyebut mereka sebagai pahlawan.
Soal jasa mereka, tentunya orang-orang pinter, terutama elite politik, diyakini tidak lagi memerlukan penjelasan lebih rinci karena sudah sangat mengetahuinya. Yang jelas, berkat pikiran dan kerja keras para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), terselenggaralah pemilu yang disebut-sebut sangat demokratis. Melalui penyelenggaraan pemilu, KPU berhasil mengawal proses sirkulasi dan regenerasi kepemimpinan nasional sesuai dengan tugas yang diembannya. Dengan cara demikian, KPU telah menyelamatkan negeri ini dari pertumpahan darah dalam proses penggantian kepemimpinan nasional.
Karena tugas mulya yang dijalankan mereka, lahir para anggota legislatif dan presiden yang bahkan masih berkuasa hingga sekarang. Ironisnya, mereka pulalah yang kemudian “menjebloskan” anggota KPU ke panjara hanya karena kelalaian para komisioner yang dinilai pengadilan masuk kategori korupsi. Alih-alih memperoleh apresiasi layaknya terhadap seorang pahlawan (demokrasi), para komosioner malah harus terperangkap sanksi hukum yang sangat mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya. Kehadiran mereka sungguh dibutuhkan, tapi mudah dilupakan begitu saja. Sungguh tragis!
Kisah tragis para komisioner penyelenggara pemilu periode yang lalu tampaknya mirip pengalaman seorang bidan atau dukun beranak. Seorang bidan harus siap menjalankan tugas kapan saja sekalipun harus menghadapi risiko apapun, termasuk kematian sang jabang bayi atau ibu sang bayi. Seorang dukun beranak yang biasanya ibu-ibu renta di kampung harus siap dibangunkan di tengah malam dan “dipaksa” berjalan dengan kaki telanjang menuju rumah sang ibu yang akan melahirkan dengan akses jalan yang sangat berat dan berjarak cukup jauh.
Ketika sudah berhasil membantu proses kelahiran sang ibu, seorang dukun beranak serta merta mendapatkan ucapan terima kasih. Namun, setelah itu, jasa besarnya dengan segera lenyap begitu saja dari ingatan sang ibu melahirkan. Terlebih sang anak yang dilahirkan, jangankan sempat memberi ucapan terima kasih, mengenal sang bidan pun tidak sama sekali. Seorang dukun beranak berusia renta hanya bisa mengurut dada dan menangis ketika dihardik seorang remaja yang diketahuinya dalam proses kelahirannya nyaris saja tidak selamat kalau tidak segera dikeluarkan dari perut ibunya. Padahal, kesalahan sang dukun beranak hanya karena berjalan kaki agak ke tengah untuk menghindari becek ketika sang remaja tersebut sedang menaiki sepeda motor.
Bagaikan seorang dukun beranak, anggota KPU sesungguhnya telah berjasa membidani banyak pejabat di lembaga legislatif dan eksekutif. Namun bagaikan seorang dukun beranak pula, setelah menerima ucapan “manis” terimakasih, jasa mereka dengan segera dilupakan begitu saja hanya karena tergelincir aturan yang tak disengaja. Tidak sedikit anggota DPR/DPRD yang boleh jadi tak mengenal sama sekali nama-nama komisioner penyelenggara pemilu/pilkada. Bahkan ada pula anggota dewan yang tiba-tiba sikap baiknya berbalik seratus delapan puluh derajat kepada KPU provinsi/kabupaten hanya karena pencalonannya dalam pilkada kalah. Jika sudah demikian, jangan harap elite politik berani mengatakan kalau komisioner penyelenggara pemilu/pilkada adalah pahlawan (setidaknya) untuk dirinya. []

Penulis, komisioner pada KPU Kabupaten Bandung, tinggal di Kota Baru, Cibaduyut.